Kamis, 05 April 2012

Kesenian Ketoprak-pun Mengkritisi Negara Indonesia










Kesenian ketoprak sekarang ini sudah jarang kita jumpai ditengah masyarakat yang sudah terbawa arus perkembangan jaman. Kesenian yang lahir dari rakyat jelata khususnya masyarakat di Jawa Tengah dan Yogyakarta ini, dulu sempat menjadi tontonan andalan dan mendapatkan tempat yang begitu istimewa di hati mereka. Ketoprak dulu sering sekali menghiasi panggung dari desa satu ke desa yang lain untuk meluapkan rasa syukur pernikahan, sunatan, atau hari jadi sebuah desa, sering menampilkan kesenian yang satu ini. Untuk menghadirkan kesenian ini tidak murah karena ketoprak melibatkan banyak orang, mulai dari pemain gamelan hingga pemeran tokoh–tokoh lakon yang akan dimainkan. Selain sebagai apresiasi berkesenian, ketoprak juga sebagai sarana untuk memberikan wejangan atau nasehat kepada masyarakat melalui pesan cerita yang dimainkan.
Sekarang ketoprak benar – benar jarang kita jumpai, minat masyarakat berkesenian mulai bergeser ke bantuk seni yang lebih baru dan modern. Anak muda jaman sekarang lebih akrab dengan seni tari modern atau modern dance dan lebih memilih bermain alat band dari pada memainkan seperangkat alat gamelan. Keprihatinan ini direspon baik oleh Almarhum Heru Kesawamurti, Agus Leyloor, Atik Yuliati, Hadi Susanto. SE, Yuli Sektio Rini dan Jeng Titik Wiber dengan mendirikan Forum Kesenian Jogja (FKJo). FKJo sendiri adalah lembaga organisasi non pemerintah yang mewadahi komunikasi antar seniman itu sendiri sebagai pekerja seni atau antar organisasi dengan pemerintah setempat dalam bidang kesenian termasuk ketoprak.
Menurut Agus Leyloor saat ini ketoprak memang sudah kurang menarik lagi di mata masyarakat modern saat ini. Masyarakat lebih tertarik terhadap sesuatu yang lebih modern ditambah dengan apa yang keluar dimedia televisi juga sudah jarang banget bahkan tidak ada lagi stasiun televisi menyiarkan kesenian ketoprak. Keprihatinan ini yang menggugah Agus Leyloor bersama teman-teman lain yang tergabung di FKJo mencoba menampilkan lagi kesenian ketoprak tetapi dengan ceritanya tidak lagi menceritakan cerita klasik tetapi cerita yang dibuatnya lebih cerita berbentuk kritik terhadap keadaan Negara Indonesia saat ini. Seperti ketoprak yang digarapnya berjudul “ontran-ontran Kendhonesia” ini, bercerita tentang keadaan Negara Indonesia saat ini yang menceritakan betapa sulitnya sejahtera di negara sendiri, Sabtu (10/03) di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Pejabat pemerintahan yang sibuk memikirkan diri sendiri mencari harta dengan kekuasaannya dan menutupi kesalahannya dengan hartanya. Karena pejabat negara sibuk mengurusi dirinya sendiri rakyat jadi tidak mendapat perhatian, konflik dalam masyarakat terjadi dan menimbulkan kekacauan yang akhirnya membunuh mereka semua.
Ketoprak garapan yang melibatkan kurang lebih 70 orang ini juga menggabungkan antara dua karakter ketoprak yang berbeda antara Jogja dan Solo. “Saya memang sengaja mencoba menggabungkan dua kota ini untuk bermain bersama dalam satu cerita dan satu pagggung sekaligus menepis mitos kalau semenjak perjanjian Giyanti dulu Jogja dengan Solo tidak bisa bersatu. Dengan ketoprak ini ternyata terbukti kita bisa bersatu dalam satu panggung. Dua karekter yang berbeda memang, solo lebih realis dengan bahasa yang apa adanya dengan pisuhannya sedangkan karakter Jogja yang masih mencoba nge-rem kata-kata pisuhan, tetapi justru ini yang menarik”, ungkap Agus Leyloor sebagai sutradara “ontran-ontran Kendhonesia” disela-sela pemantasan.(cermith antonio/santoso cermith)

Senin, 02 April 2012

Melasti "Berpikir, Berbuat dan Berbicara yang benar"


















     Menyambut hari raya Nyepi yang akan segera tiba, umat Hindu di Yogyakarta dan sekitarnya melakukan upacara Melasti di bibir Pantai Parangkusumo Bantul, Minggu (18/03). Upacara yang melambangkan penyucian diri ini dihadiri ribuan umat dari berbagai daerah yang memang dipusatkan di Pantai Parangkusumo setiap tahunnya. Umat hindu berbondong-bondong datang dari beberapa pura yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya.
     Satu demi satu dengan menggunakan pakaian adat dan membawa sesaji yang dibawa menggunakan tempat yang terbuat dari anyaman bambu berkumpul di bibir pantai Parangkusumo. Setelah meletakkan sesaji di tempat yang telah disediakan, umat Hindu segera menempatkan diri menghadap ke pantai. Harapan untuk mendapatkan penyucian dari segala kotoran dan dosa yang telah diperbuat mengalahkan teriknya matahari siang itu.
     Aroma dupa dan sesaji yang berderet di bibir pantai Parangkusmo menjadi pemandangan spiritual yang indah. Perarakan Jempana memasuki tempat upacara dengan dipimpin Pemangku berpakaian serba putih yang melantunkan doa dan mantera sambil membunyikan lonceng kecil diiringi musik gamelan khas Bali, menjadi pertanda upacara Melasti segera dimulai. Segera setelah semua alat upacara siap, alat yang akan digunakan untuk upacara Melasti disucikan dulu dengan air laut. Pengambilan air laut diringi gadis – gadis penari dari beberapa perwakilan Universitas yang telah ditunjuk sebelum digunakan menyucikan alat upacara. Selanjutnya alat upacara dinyalakan dan sesaji disucikan pertanda upacara inti dimulai. Lantunan mantera dan doa terucap, percikan tirta menyucikan diri di hari Melasti menyongsong Nyepi. Setelah sembahyang selasai, sebagai puncak upacara pelarungan sesaji dilakukan di bibir pantai Parangkusumo dan di ikuti oleh semua umat Hindu yang hadir. Alunan musik gamelan Bali mengiringi upacara pelarungan yang menjadi akhir dari upacara Melasti. Membasahkan diri di air laut menjadi pertanda membersihkan diri dari segala keburukan dan menyucikan diri sehingga layak menyambut Nyepi yang akan hadir beberapa hari lagi setelah upacara Melasti.
     Menurut Ida Bagus Agung Ketua Parisada Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, samudra atau laut merupakan lambang kehidupan ini yang penuh dengan gelombang - gelombang kebahagiaan dan kesedihan yang datang silih berganti. Tujuan Melasti adalah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar segala kotoran, dosa dilebur dan disucikan sehingga mendapatkan tirta amarta yang disebut tirta kamandalu sebagai dasar mendapatkan wara nugraha berupa sumber - sumber kehidupan. “Harapannya pada Melasti kali ini buana alit dan buana agung menjadi bersih akan memberikan kesucian kepada semua makhluk hidup sehingga masyarakat termasuk para pemimpin Negara ini sehingga bisa ber-trikaya parisuda yaitu berpikir yang benar, berbuat yang benar dan berbicara yang benar supaya terjadi keharmonisan di dalam kehidupan” Ida Bagus Agung menjelaskan.(cermith antonio/santoso cermith)

Rabu, 14 Maret 2012





Beberapa foto yang lahir dari sebuah sisa-sisa rumah warga yang terbengkalai disudut kota Jogja. Stevani Elia Indrayanti yang hobby menyanyi dengan suara yang merdu mencoba sesuatu hal yang baru, berpose dengan senyum manisnya. Dari beberapa jepretan yang saya lepaskan dengan menggunakan Canon EOS 550D lensa Canon 55-250mm f/4-5.6 IS jadinya seperti ini. Wajah manis Stevani menjadi lebih bercahaya berkat sentuhan make up dari Trisa Cintani seorang make up stylelis di Jogja.
Monggo dilihat karya sederhana saya ini semoga bisa jadi referensi dan inspirasi. Silakan kalau mau komentar karena komentarnya akan sangat membantu saya. Terima Kasih

Minggu, 19 Februari 2012

Nostalgia Cinta Untuk Jogja bersama Iwan Fals









Konser "Nostalgia Cinta Untuk Jogja" (18/02) bagi saya menjadi konser yang benar-benar membuat saya bernostalgia, saya serasa kembali ke masa lalu saat saya masih SD, kakak saya yang pertama yang benar-benar fans berat Iwan Fals setiap pagi memutar lagu bang Iwan sebelum berangkat sekolah. Trand jaman dulu di kampung saya, setiap pagi cepet-cepetan nyalain tape dan memutar lagu kesukaan keras-keras dengan loudspeaker dan tape mobil. Kebiasaan ndeso yang unik, kalau bisa memutar musik dan tidak ada saingannya bahkan tetangga ikut bernyanyi dengan musik yang kita putar, kita sangat merasa bangga. Beda dengan jaman sekarang, boro-boro nyetel musik, bangun pagi aja pada susah. Inilah kenyataan.


"Penguasa-penguasa Berilah Hambuamu Uang" ini penggalan lagu bang Iwan dalam lagu yang berjudul "Pesawat Tempur". Dengan menempelkan uang sepuluh ribu rupiah di jidatnya bang Iwan menyanyikan lagu ini dengan energik seolah sedang ingin bercerita saat masih suka iseng godain cewek-cewek cantik berusaha merayunya. Dengan menyanyikan lagu ini keras-keras di depan cewek yang sedang dirayunya. Hal yang sama dari dulu sampai kini tidak berubah mendengar lirik lagu ini, hampir kebanyakan wanita lebih suka pria berkantong tebal daripada pria yang hidup pas-pasan alias isi kantong terbatas, memang tidak semua wanita sih.

Foto foto ini saya ambil dengan kamera Canon EOS 550D dengan lensa Canon 55-250mm f/4-5.6 IS, foto-foto ini juga tidak saya edit secara khusus hanya sedikit sentuhan contrast saja. Croping dan lain-lainnya asli dari kamera saya. Semoga karya saya ini bisa memberikan inspirasi bagi yang menikmatinya. Matur nuwun, jepret dari Jogja.