Kesenian ketoprak sekarang ini sudah jarang kita jumpai ditengah masyarakat yang sudah terbawa arus perkembangan jaman. Kesenian yang lahir dari rakyat jelata khususnya masyarakat di Jawa Tengah dan Yogyakarta ini, dulu sempat menjadi tontonan andalan dan mendapatkan tempat yang begitu istimewa di hati mereka. Ketoprak dulu sering sekali menghiasi panggung dari desa satu ke desa yang lain untuk meluapkan rasa syukur pernikahan, sunatan, atau hari jadi sebuah desa, sering menampilkan kesenian yang satu ini. Untuk menghadirkan kesenian ini tidak murah karena ketoprak melibatkan banyak orang, mulai dari pemain gamelan hingga pemeran tokoh–tokoh lakon yang akan dimainkan. Selain sebagai apresiasi berkesenian, ketoprak juga sebagai sarana untuk memberikan wejangan atau nasehat kepada masyarakat melalui pesan cerita yang dimainkan.
Sekarang ketoprak benar – benar jarang kita jumpai, minat masyarakat berkesenian mulai bergeser ke bantuk seni yang lebih baru dan modern. Anak muda jaman sekarang lebih akrab dengan seni tari modern atau modern dance dan lebih memilih bermain alat band dari pada memainkan seperangkat alat gamelan. Keprihatinan ini direspon baik oleh Almarhum Heru Kesawamurti, Agus Leyloor, Atik Yuliati, Hadi Susanto. SE, Yuli Sektio Rini dan Jeng Titik Wiber dengan mendirikan Forum Kesenian Jogja (FKJo). FKJo sendiri adalah lembaga organisasi non pemerintah yang mewadahi komunikasi antar seniman itu sendiri sebagai pekerja seni atau antar organisasi dengan pemerintah setempat dalam bidang kesenian termasuk ketoprak.
Menurut Agus Leyloor saat ini ketoprak memang sudah kurang menarik lagi di mata masyarakat modern saat ini. Masyarakat lebih tertarik terhadap sesuatu yang lebih modern ditambah dengan apa yang keluar dimedia televisi juga sudah jarang banget bahkan tidak ada lagi stasiun televisi menyiarkan kesenian ketoprak. Keprihatinan ini yang menggugah Agus Leyloor bersama teman-teman lain yang tergabung di FKJo mencoba menampilkan lagi kesenian ketoprak tetapi dengan ceritanya tidak lagi menceritakan cerita klasik tetapi cerita yang dibuatnya lebih cerita berbentuk kritik terhadap keadaan Negara Indonesia saat ini. Seperti ketoprak yang digarapnya berjudul “ontran-ontran Kendhonesia” ini, bercerita tentang keadaan Negara Indonesia saat ini yang menceritakan betapa sulitnya sejahtera di negara sendiri, Sabtu (10/03) di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Pejabat pemerintahan yang sibuk memikirkan diri sendiri mencari harta dengan kekuasaannya dan menutupi kesalahannya dengan hartanya. Karena pejabat negara sibuk mengurusi dirinya sendiri rakyat jadi tidak mendapat perhatian, konflik dalam masyarakat terjadi dan menimbulkan kekacauan yang akhirnya membunuh mereka semua.
Ketoprak garapan yang melibatkan kurang lebih 70 orang ini juga menggabungkan antara dua karakter ketoprak yang berbeda antara Jogja dan Solo. “Saya memang sengaja mencoba menggabungkan dua kota ini untuk bermain bersama dalam satu cerita dan satu pagggung sekaligus menepis mitos kalau semenjak perjanjian Giyanti dulu Jogja dengan Solo tidak bisa bersatu. Dengan ketoprak ini ternyata terbukti kita bisa bersatu dalam satu panggung. Dua karekter yang berbeda memang, solo lebih realis dengan bahasa yang apa adanya dengan pisuhannya sedangkan karakter Jogja yang masih mencoba nge-rem kata-kata pisuhan, tetapi justru ini yang menarik”, ungkap Agus Leyloor sebagai sutradara “ontran-ontran Kendhonesia” disela-sela pemantasan.(cermith antonio/santoso cermith)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar